Sejarah Banten
Catatan Awal
Sejarah Banten Selatan 1950-an, Cerita Keterpencilan, Cerita Orang Kenekes dan
Pantai Carita
Bung Karno dan Rakyat Baduy pada
1950-n (kredit Foto rosodaras.wordpress.com)
Hingga awal
1950-an Banten termasuk daerah yang paling terkebelakang. Suatu hal
yang cukup ironis mengingat di bekas Kesultanan itu awalnya termasuk kawasan
maju di Nusantara pada abad ke 16-17. Namun keberadaan VOC
dilanjutkan kolonialisme Belanda memporakporandakan peradaban ini.
Sekalipun praktis sudah ditaklukan dengan kesultanan dihapuskan pada
1832, bukan berarti kawasan ini mau begitu saja damai pada pemerintah Kolonial.
Sepanjang
abad ke 19 hingga akhir penjajahan Belanda daerah ini tersohor karena suka
memberontakan dan semangat keagamaannya tinggi. Yang paling besar dan
menakutkan bagi orang Eropa ialah Pemberontakan Cilegon 1888 dan Pemberontakan
PKI 1926. Menurut Michael C. Williams1 kebanyakan pemimpin
pemberontakan adalah para ulama , keturunan sultan dan bangsawan ulama yang
tersisih. Pemerintah
Kolonial juga merekrut para pangrehpraja dari luar Banten yang kurang dihormati
oleh penduduk setempatnya. Selama masa revolusi Banten menjadi daerah wild-wild
west di Pulau Jawa yang enggan dimasuki tentara Belanda.
Seperti yang
juga dituturkan Michael C. William1, secara keseluruhan Banten sejak
abad ke 19 secara ekonomis dan politis memang terpencil. Penduduk kota
Serang pada abad ke 19 sekitar 10 ribu jiwa. Hingga
1950-an Banten bagian Utara yang relatif sudah dibangun sejak masa
Kesultanan hingga masa Kesultanan, tetap tertinggal dibanding bagian lain
di Jawa Barat.
Ketertinggalan
yang menyolok adalah pada infrastruktur pendidikan. Di kota
Serang memang ada sekolah guru, sekolah kepandaian putri, sekolah teknik, serta
4 sekolah menengah. Hanya satu di antara sekolah menengah itu
sekolah negeri. Tiga lainnya sekolah partikelir, yaitu SMA di bawah Krishna
Dwipayana, Sekolah Menengah Islam dan Sekolah Mardi Juana.
Sayangnya jumlah lulusan Sekolah Rakyat sendiri masih sedikit.
Pada 1954
saja di Kabupaten Serang lulus 550 murid dan ini tiga kali lipat lulusan pada
1953. Sedangkan yang lulus SMP hanya 180 orang pada 1954 dan itu naik 25%
dari tahun 1953 (Pikiran Rakjat, 19 Agustus 1954). Pada 1955
jumlah lulusan SR di Serang meningkat menjadi 1500 orang. Namun hanya 256
anak yang bisa ditampung di satu-satunya SMP Negri Serang (Pikiran
Rakjat, 3 Juni 1955). Hingga 1955 hanya 113.156 orang yang bisa baca
tulis dari 523.744 penduduk di kabupaten itu (Pikiran Rakjat, 3 Agustus
1955).
Catatan
mengenai masa silam Sejarah Banten Selatan yang saya kumpulkan berkisar
soal bencana ekologis akibat meletusnya Gunung Krakatau pada 1883
yang menghancurkan Anyer, hingga cerita-cerita dongeng, legenda atau
mitos mengenai Tanjung Lesung atau tiga desa yang berkaitan dengan asal usul
Suku Baduy, seperti Cibeo, Cikeusik dan Cikartawarna.2 Selebihnya
sejarah Banten Selatan adalah sejarah keterpencilan, kemiskinan dan penindasan,
seperti diungkapkan Multatuli dalam Max Havelaar.3
Pada 1950
Banten Selatan lebih parah dibanding. Untuk sarana pendidikan Kabupaten
Pandeglang mempunyai sekitar 40 gedung SR milik pemerintah yang
harus menampung sekitar 37000 anak usia sekolah. Untungnya masih ada 250
Madrasah yang tersebar di kabupaten ini. Tiap tahun murid yang
lulusan SR sekitar 300 anak, namun hanya segelintir yang mampu melanjutkan ke
bangku SMP (Pikiran Rakjat, 20 September 1954). Itu cerita tentang
infrastruktur pendidikan di awal 1950-an. Bagaimana dengan perhubungan?
Awal 1950-an
sarana perhubungan darat adalah masalah besar. Majalah Siasat edisi 240,
18 November 1951 melaporkan kondisi Bayah, daerah yangdisebutkan sebagai
paling terpencil di ujung Banten Selatan. Bayah ini dihubungkan
dengan Saketi sejauh 96 km, Rangkasbitung 140 km dan Pelabuhanratu 138
km. Dari tiga jurusan ini tidak ada satu kendaraan pun yang mempunyai
trayek tertentu dan tidak setiap hari ada kendaraan yang mencapainya.
Pada masa
itu paling cepat tiga hari sekali, namun kerap seminggu bahkan hingga sepuluh
hari sekali ada mobil truk yang mendatangi Bayah. Jika warga Bayah ingin
keluar dari daerahnya menumpang di bak truk maka bersiap berjejal dengan
tumpukan barang ikan asin dan terasi. Karena kondisinya jalannya rusak, harus
siap juga terguncang-guncang hingga kondisinya kerap lemah dalam berjalanan
yang memakan waktu berjam-jam. Sebagai catatan pada waktu itu
sekitar 50 persen jalan besar Bayah-Sukabumi dimiliki partikelir.
Sebetulnya
masa Jepang ada jalan kereta api, lin Saketi Bayah dan
Rangkasbitung-Labuhan sepanjang 90 Km. Lin ini menembus daerah belukar
dan tanah jurang. Infrastruktur ini dibangun untuk keperluan pengangkutan
batubara di Cihara. Namun untuk menghidupkan kembali jalur kereta api ini tidak
ekonomis. Banten Selatan waktu itu hanya hanya mempunyai penduduk 117.975
orang. Kalau lebih dirinci penduduk Bayah hanya 13.435
orang. Bila dihitung sekitar sepuluh persennya yang
membutuhkan kereta api, maka setiap bulannya penumpang KA hanya 393
penumpang. Begitu juga potensi ekonomi pada 1950-an hanya 411 ton karet
dan kopra (Siasat, edisi 258, 6 April 1952).
Baru setelah
lama mendapatkan desakan dari rakyat dan instansi di Banten Selatan pada 1
Januari 1953 Dinas Perhubungan membuka jalur angkutan umum yang
diselenggarakan oleh DAMRI. Perhubungan sangat penting artinya bagi
perekonomian rakyat. DAMRI diberitakan akan membuka kantor di Ibukota
Kewedanaan melamping. Trayek yang dijalani antara lain Saketi-Malamping
pulang-pergi sejauh 60 Km., Malimping-Bajah 36 Km.
DAMRI
menyediakan 8 bus termasuk cadangan. Karena tak ada transportasi harga 1 Kg gaplek di
Malimping 25 sen, di Jakarta harga bisa mencapai 75 sen karena jarang
angkutan. Di daerah itu sampai ada kebiasaan orang berjalan kaki sejauh
30 km dalam sehari penuh. Truk bawa penumpang laksana pindang laki-laki
maupun jadi satu muatan dengan barang (Pikiran Rakjat, 2 Januari 1953).
Namun pada
1955 masalah perbaikan jalan Saketi-Malimping ini mencuat lagi. Rusaknya
jalan raya dan masih daruratnya jembatan membuat DAMRI juga tidak mampu
melayani kebutuha n rakyat. Jalan kereta api tertutup oleh rumput dan
bekas peralatan pertambangan batubara di bayah menjadi ongggokan besi tua
yang beratnya sampai 300 ton. Di Banten selatan disebutkan rakyat hanay hidup
dari pertanian dari padi berupa sawah sekitar 6000 ha dan huma
21.000 ha. Hasil lain
kopra dan palawija hanya sekitar 40 ton. (Pikiran Rakjat, 12 september
1955).
Begitu juga
infrastruktur jalan raya di Pandeglang umumnya rusak parah hingga 90
persen dari seluruh jalan. Beberapa jembatan seperti Cimaba rusak berat
. Pada Maret 1954 rusaknya infrastruktur ini mencuat ke surat
kabar. Akibat kerusakan jalan ini ongkos angkutan umum menjadi lebih
mahal. (Pikiran
Rakjat, 23 Maret 1954). Pada awal 1954 hanya dua gedung baru
yang direncanakan dibangun. Gedung untuk Jawatan Pertanian Kabupaten
Lebak dengan bioaya Rp135.620 dan Gedung Kantor Jawatan Pertanian Kabupaten
Pandeglang dengan biaya Rp122.000 (Pikiran Rakjat, 6 Februari 1954).
Infrastruktur
kesehatan juga tidak memadai. Rumah Sakit Umum Serang pada 1954 hanya
mempunyai 24 kamar dan 225 tempat tidur pasien. Memang jumlah pasien yang
dirawat tiap bulannya masih berkisar 150 hingga 200 pasien. Tenaga dokter
hanya dua orang, di antaranya dr.Rachteck yang masih berkebangsaan
Belanda. Jumlah ini sangat tidak memadai karena harus menangani pasien
yang datang setiap hari rata-rata seratus orang. Pada akhir
Desember 1954 penyakit TBC menghantui Banten, membuat daerah berteriak minta
bantuan tenaga dokter (Pikiran Rakjat, 27 Desember 1954).
Ke kawasan
lebih selatan lagi? Lebih parah lagi. Bayah misalnya masa itu juga dihadapkan
dengan epidemi Malaria. Tapi hanya ada satu poliklinik dan hingga 1951
tidak mempunyai tenaga kesehatan memadai. Pada Juli hingga Oktober 1950
pernah ada juru rawat terdidik, namun ditarik kembali oleh Kepala Kesehatan
Kabupaten Lebak ke Rangkasbitung, karena di sana juga ada kekurangan tenaga.
Saya
menemukan sedikit catatan tentang gangguan keamanan di daerah Pandeglang,
Banten Selatan. Pagi hari 10 November 1954
sebuah opelet dari arah Serang ke Pandeglang, di Palima dicegat 15 orang
bersenjata karabyn dan golok. Oplet penuh penumpang dan barang ini
dirampok dan kerugian sebesar Rp20.000. Gerombolan ini diperkirakan
anak buah Samsudin (salah satu pimpinan gerombolan bersenjata pada 1950-an)
yang memang tidak mau menyerah pada pemerintah (Pikiran Rakjat, 15
November 1954).
Menjelang
Pemilu 1955, terjadi berapa gelombang penyerahan gerombolan bersenjata.
Seperti yang dilaporkan Tubagus Subadisastra, Sekretaris Panitia Penyelesaian
Penyerahan Gerombolan Daerah banten pada Maret 1955 tercatat 178 orang
menyerahkan diri. Latar belakang ternyata banyak yang berasal
dari pejuang kemerdekaan. Sebanyak 15 pucuk senjata api juga ikut
diserahkan (Pikiran Rakjat, 29 Maret 1955).
Pada Juni
1955 sebanyak 40 anggota gerombolan bersenjata menyerahkan diri dan kembali ke
masyarakat . Sementara di Kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang
sebanyak 9 anggota gerombolan bersenjata dari Darul Islam ditembak mati
dan 7 pucuk senjata disita. (Pikiran Rakjat, 3 Juni 1955).
Sekalipun ideologi Islam tampaknya kuat dalam masyarakat Banten,
Darul Islam tidak terlalu berakar di kawasan ini, baik di bagian utara maupun
selatan. Mungkin hal
ini terjadi karena hubungan antara elite Banten dan elite Priangan seperti
dalam sejarahnya tidak terlalu mesra.
Novel karya
sastrawan Pramudya Ananta Toer berjudul Sekali Peristiwa di Banten
Selatan, Jakarta: Dipantara, 2006 secara tak langsung juga
menceritakan hal itu. Walaupun tidak jelas di daerah mana lakon ini
terjadi, namun dia menyebutkan adanya Romusha dan itu adalah kawasan
Bayah, Lebak yang pernah ada kasus Romusha yang begitu getir. Keberadaan
Darul Islam di daerah itu dimungkinkan hanya karena keterpencilannya
saja. Soal kemiskinan masyarakat desa
seperti yang disinggung dalam novel itu memang ada faktanya.
Perhatian Terhadap Orang Baduy
Orang Baduy menjadi pembicaraan yang
cukup ramai di media massa antara 1954 dan 1955. Sekitar pertengahan 1954 orang- orang
Baduy dikabarkan menyerahkan sebagian pengelolahan kehutanan di wilayahnya
kepada Jawatan Kehutanan. Pihak pemerintah memanfaatkan hal itu
untuk mengadakan penyelidikan di kawasan terpencil. Setelah adanya perjanjian
tidak mengambil foto, tidak ada anggota rombongan merokok dan tidak boleh
memasuki kawasan Arca Domas pada 15 Juli hingga 22 Juli 1954 suatu delegasi
dipimpin Residen Banten mengunjungi wilayah Baduy. (Pikiran Rakjat, 2
Juli 1954). Bung Karno sendiri pernah singgah di Banten pada 1951 dan juga
bertemu utusan Masyarakat Baduy.
Latar belakang juga didasari
kunjungan dua orang Baduy pada 3 Juli 1954 bernama Saltiwin dan Darjeuni (83
tahun) ke Istana Bogor menghadap Presiden Sukarno meminta supaya Leuweung
titipan kebuyutan mereka dilindungi dari penyerobotan yang dilakukan orang
luar. Peristiwa penyerobotan itu ternyata mengakibatkan rusaknya stroomgebield
Kali Ciujung seluas 199.750 hektar yang meliputi kawasan Lebak dan sebagian
Kabupaten Bogor. Hal itu terjadi sejak berapa tahun sebelumnya hingga air
di Kali di Ciujung tinggal 14,2 persen. Permintaan itu berulang kali
dilakukan dalam dua tahun ke Jawatan kehutanan, Pamongpraja dan Kementrian
Dalam Negri. (Pikiran Rakjat, 22 Juli 1954) .
Dalam Agustus 1952 Sekretaris
jendral Dalam Negri sebetulnya sudah mengeluarkan larangan supaya Hutan Baduy
jangan diganggu dan dijadikan huma (tempat penanaman padi) secara liar oleh
rakyat. Pada tahun berikutnya, tepatnya bulan Oktober dua orang
pembesar yang dikirimkan Menteri Agraria, Mr. Singgih dan Gandasubrata
mengadakan rapat di Kecamatan Leudamar, Kabupaten Lebak juga dihadiri
perwakilan orang baduy. Dalam rapat itu disebutkan ada anjuran agar
separuh hasil huma atas bekas daerah Hutan Baduy diserahkan kepada orang
Baduy. Namun perwakilan Baduy menolak, sebab ayng dminta agar hutan mereka
dilindungi.
Pada 1953 beberapa orang
dihukum karena serobotan hutan. Namun pengerusakan masih tetap terjadi hingga
1954 hutan seluas 500 hektar dalam wilayah Baduy digunduli. Itu sebabnya
laporan sampai ke Sukarno. Luas daerah Baduy pada waktu itu sekitar 5121
hektar. Jumlah penduduknya menurut catatan resmi sekitar 1750 jiwa. Namun
ada yang menyebutkan sekitar 2300 jiwa (Berita Antara, 22 Juli
1954)
Sekitar enam puluh orang terdiri
dari para pamongpraja tiba di Gajeboh (sebuah kampong dalam wilayah
Baduy) pada 16 dan 17 Juli 1954. Mereka berjalan kaki memasuki Baduy
sesuai kesepakatan. Rombongan yang terdiri dari Residen Banten Raden
Basarah Adiwinata , Bupati Rangkasbitung dan stafnya mengadakan pembicaraan
dengan perutusan dari tiga puun (yaitu Puun Cibeo, Puun Cikeusik, Puun
Cikartawarna).
Dalam pertemuan Residen Banten
bersedia melindungi hutan di daerah Baduy dalam pengertian dijadikan hutan
lindung dan bukan hutan tertutup. Tapi untuk itu ada penetapannya, yaitu
harus ditentukan petanya, diperlukan sejumlah patok untuk batas. Pihak
Baduy setuju dengan sebutan hutan lindung, tetapi menolak pemasangan
patok. Alasannya oleh buyut mereka hutan itu dilarang diinjak orang luar.
Ketika rombongan pemerintah singgah
di Desa Karangcombong (di luar wilayah Baduy) didapat keterangan bahwa
penyerobotan terjadi karena tiap jiwa di desa itu hanya mendapat tanah
garapan seperempat hektar. Sementara warga desa lainnya Desa Sobang juga
kekurangan tanah. Sejumlah took di desa itu juga mengasut
warganya agar menyerobot tanah di tanah dengan imbalan 20 persen dari hasil
tanaman warga untuk Sang Pemimpin.
Rombongan juga singgah di Kampung
Cibeo walau tidak ditemui Puun dan dia hanya diam di rumahnya.
Menurut laporan Pikiran Rakjat 26 Juli 1954 (juga Kantor Berita
Antara, 22 Juli 1954) digambarkan Kampung Cibeo terdiri sekitar 22
rumah. Penempatan rumah di kampung itu tertata rapi. Di bagian selatan terdapat
rumah Puun dan ujung bagian utara ada sebuah bale. Antara kedua bangunan
itu terdapat halaman terbuka. Di sebelah barat berjer rumah Puun
pareman, Baresansalapan, kokolot dan keluarga mereka.
Sesudah rombongan tiba, maka orang2
terkemua diantaranja seperti Residen Banten, Bupati lebak, Bupati Bogot, Kepala
Djawatan kehutanan Banten dan lain2nja dipersilahkan duduk di atas bale
dengan muka ke arah selatan, jaitu ke arah rumah Puun. Antara dua buah
rumah dipsang tali dari barat ke Timur, para anggauta rombongan tidak
diperkenankan melintasi tali itu.
Laporan lain tentang Orang Baduy
disebutkan dalam Majalah Merdeka Tahun ke VII No.32 tertanggal 6 Agustus
1955 berjudul “Adat Istiadat Bangsa Kenekes Bangsa Indonesia” disebutkan
orang Badui menurut sejarahnya adalah orng-orang pelarian dari Kerajaan
Pajajaran. Pada waktu diperintah oleh Raja Prabu Siliwangi, Agama Islam
masuk Jawa Barat dibawa oleh Ki Santang. Penduduk kerajaan ini
disebutkan tidak bisa lagi mempertahankan kepercayaan dan masuk Islam.
Sebagian rakyat yang masih memeluk
kepercayaan lama pergi ke luar kerajaan. Mereka yang pergi terdiri dari 40
kuren ataau kira-kira berjumlah 150 orang. Orang-orang inilah yang dinamakan
orang Baduy menurut tulisan itu. Mereka tinggal di Cikeusik,
Cikatawarna dan Cibeo. Nama Baduy seharusnya tidak pada tempatnya. Baduy
bagi mereka kurang sopan dan mereka lebih suka disebut orang Kenekes.
Suku Kenekes terdiri dari dua
golongan, golongan kejoroan (tertutup) dan golongan keluaran. Golongan yang
tertutup terdiri 40 keluarga. Kekuasaan tertingi Suku Kenekes adalah geurang
puun semacam pendeta. Sementara urusan sehari-hari dikerjakan oleh geurang
surat dan kekolot yang bisa disamakan dengan perdana Mentri dan
Patih. Berita Antara 22 Juli 1954 melaporkan bahwa Daerah Kejoroan
pada 1950-an berpenduduk sekitar 240 jiwa. Wilayahnya dua pertiga wilayah
Baduy.
Dinamika Politik
Pada Pemilu 1955 Masyumi menang
telak di Keresidenan Banten meraup 225.747 suara, hampir dua kali lipat dari
suara PNI 132.635 suara, disusul PSII 105.380 suara, NU 85.875 suara, IPKI 15
ribuan suara dan PKI hanya 10 ribuan suara (Pikiran Rakyat, 3 Oktober
1955). Itu menandakan sekalipun di Banten pernah ada pemberontakan PKI pada
1926- seperti yang saya singgung sebelumnya- tidak jadi jaminan PKI bisa
unggul Tampaknya PKI dalam pemberontakan itu pada masa silam dan juga
gerakan di awal kemerdekaan hanya karena berhasil menggalang kerjasama dengan
ulama.
Di kawasan Banten Selatan, sekalipun
daerah itu umumnya miskin, PKI kurang berhasil menanamkan pengaruh
ideologinya. Suatu yang ironis mengingat di daerah Banten pernah terjadi
pemebrontakan PKi 1926 dan pada awal kemerdekan tokoh-tokoh PKI berperan
seperti saya singgung di wal tulisan. Namun pada 1950-an secara formal PKI
tidak kuat. Masyarakat masih mematuhi ulamanya untuk memilih
partai politik.
Di Kabupaten Pandeglang Masyumi
berhasil meraup 64.098 suara, PNI 41.404 suara, NU 23.770 suara, PSII
15.401 suara, IPKI 2824 suara dan PKI hanya merahi 2381 suara (Pikiran
Rakjat, 4 Oktober 1955). Keunggulan Masyumi juga terjadi di
Kabupaten Lebak meraup 53.044 suara, namun di wilayah ini ditempel PNI tidak
terlalu jauh 33.294 suara (Pikiran Rakjat, 3 Oktober 1955).
Meskipun sama-sama didominasi
Masyumi hubungan antar elite politik di Banten dan Jawa Barat tidak terlalu
erat. Merasa diabaikan dan banyaknya daerah yang terpencil
tampaknya membuat rasa tidak senang tokoh-tokoh politik di
Banten. Pada Februari 1957 benih-benih bahwa mereka adalah berbeda
dengan bagain lain di Jawa Barat mulai mencuat. Satu
delegasi terdiri dari 7 orang gabungan dari DPD serang-Pandeglang dan
melibatkan elite politik lintas partai seperti Masyumi, PNI, PSII dan NU.
Delegasi itu diketuai KH. Amin Djasuta didampingi Residen Banten R.
Achjar Penna pada Jum’at 22 Februari 1957 menemui Sekretaris jendral
Kementerian dalam negri.
Delegasi
ini menyuarakan tuntutan daerah Banten dan menyuarakan tuntutan biaya
sebesar Rp 550.000.000. Mereka mengancam akan menuntut Banten
menjadi negara bagian sendiri bukan saja lepas dari Jawa Barat.
Yang mereka protes antara lain infrastuktur jalan raya Bayah-Saketi
–Malimping yang terbengkalai terus, sawah-sawah di Banten Utara yang kehilangan
fungsinya. Bahkan menurut juru bicaranya KMS Agustjik, sejumlah
bangunan SR roboh dan murid-muridnya belajar di gubuk-gubuk (Indonesia
Raja, 23 Februari 1957).
Cerita Ekonomi Banten Selatan
Untuk
mengembangkan perekonomian di Banten, sejumlah kawasan di Banten Utara
seperti Kramatwatu di Kabupaten Serang dan Banjar di Kabupaten Pandeglang
diberdayakan menjadi lokasi transmigrasi penduduk dari Priangan Timur dan
Cirebon. Mereka umumnya petani untuk membuka persawahan.
Kawasan
Banten Selatan lebih menyedihkan. Sekalipun di sejumlah daerah terdapat berbagai
komditi pertanian,perkebunan pertembangan dan perikanan laut yang
potensial. Namun imbasnya pada masyarakat Banten Selatan tak
terasa. Di bidang perkebunan, potensi yang paling kuat ialah perkebunan
karet di kawasan Pandeglang seluas 3879,71 Ha dengan hasil 1880.00/kg
pada 1952. Jumlah ini
meningkat pada 1952 sebanyak 2824,50 kg.4
Areal
persawahan diperluas terutama pada 1954. Kawasan Curugrame, lebak
dibangun sebuah dam yang mampu mengairi sawah-sawah seluas 1700 Ha.
Biayanya sebesar Rp325.000 ditanggung Kantor Penempatan tenaga. Perluasan sawah
juga terjadi di Cilangkahan (juga di Lebak) dengan pembangunan dam yang
mampu mengairi 5000 ha sawah (Pikiran Rakjat, 20 Maret 1954).
Hasil kerja
keras pamongpraja dalam 1954 setempat khususnya jawatan pertanian lebih
terasa di Kabupaten Pandeglang . Pada tahun itu dilaporkan terjadi
peningkatan luas sawah dari 33.706 hektar pada akhir 1953 meningkat meniadi
45.510 hektar pada akhir 1954. Padi pun meingkat dari 22,5 kwintal per
hektar pada 1953 menjadi 23,5 kwintal per hektar (Pikiran Rakjat, 26
Januari 1955).
Kawasan
Sobang, Kabupaten Pandeglang juga dijadikan daerah transmigrasi yang
dibagi dua, yaitu Kampung Bojen dan Kampung Sobang dengan total 1082 Kepala
Keluarga (4212 jiwa). Mereka didatangkan terutama dari Cirebon dan
Majalalengka. Mereka menempati 1068 rumah dengan fasilitas 14 langgar dan
dua mesjid. Tanah yang dibuka untuk pemukiman penduduk seluas 265,2
hektar dan yang dibuat sawah 1061 hektar dan ladang 795 hektar. Hasil ladang
antara lain kacang ijo, kacang kedele, ubi matang dan singkong. Sayangnya
di Kampung Bojen penempatan transmigrasi ini mendapatkan masalah dengan
penduduk asli yang juga menginginkan tanah yang sama (Pikiran Rakjat, 4
September 1954)
Pada 1954
menurut Jawatan Kehewanan daerah Banten, jumlah hewan yang dimiliki
penduduk memang mengalami peningkatan. Jumlah domba dan kambing pada 1953
berjumlah sekitar 195 ribu ekor menjadi 210 ribu ekor pada 1954. Jumlah
kerbau dari 150 ribu ekor pada 1953 menjadi 155 ribu ekor pada 1954. Jumlah
kuda dari 4500 ekor menjadi 4600 ekor dan jumlah sapi dan babi dari 400 ekor
menjadi 500 ekor. Hewan-hewan ini tidak saja dibutuhkan dagingnya tetapi
untuk pertanian rakyat (Pikiran Rakjat, 13 Agustus 1954).
Kawasan
Cikotok, Cibeber, Lebak mempunyai tambang emas yang pernah dieksplorai Belanda
pada 1930-an. Namun perang mmebuat aktifitas ini berhenti. Pada 1958
Tambang emas Cikotok dibuka kembali pada 12 Juli 1958 dengan pengusahaan
dikerjakan oleh NV Tambang Emas Tjikotok (TMT) yang berada di bawah manajemen
NV Perusahaan Pembangunan Pertambangan (P3).5
Star Weekly edisi 655 19 Juli 1958 menyebutkan penyelidikan
sebelum perang terdapat sekitar 800 ribu ton batu yang mengandung emas di
kawasan Cikotok. Di daerah Cirotan jumlah batu sebanyak 528.303 ton dengan kadar emas
10,9 gram dan perak 333 gram per ton. Sementara di bukit Cikotok terdapat
256.000 ton batu dengan kadar emas 8,479 gram dan 649 gram perak per tonnya.
Biaya rehabilitasi tmbang emas Cikotok disebutkan sekitar Rp50 juta.
Dalam
tulisan di Star Weekly yang berjudul “Mentjari Emas di Tjikotok”
itu terungkapkan kawasan yang berjarak 120 km dari Sukabumi dan 60 Km
dari Pelabuhanratu menghadapi kendala bahwa jaringan jalan yang menghubungakn
Pelabuhan ratu-Cikotok dikuasai partikelir. Setiap mobil umum yang
melewati harus bayar Rp5. Cikotok sebagai daerah yang miskin dan yang
paling sepi di Jawa Barat masa itu. Sebuah kutipan cukup mendeskripsikan
bagaimana kawasan Cikotok pada 1958
Djika kita berdiri di atas puntjak bukit di pinggir daerah pertambangan
kelihatan Samudera Hindia di Kedjahuan. Di kaki-kaki bukit terdapat
rumah bertjat putih, bedeng-bedeng pekerdja kasar jang kotor, rumah sakit,
djalan-djalan jang sempit dan berbahaja, berkelompok pada sebidang tanah
konsesi seluas sekitar 2 km persegi, terpencil di antara gunung-gunung tandus…
Pada 1950-an
Banten mulai mengembangkan perikanan laut dengan pusat di Labuhan. Di kota ini
berdiri Koperasi Perikanan Laut Indonesia Warnasari. Sejak berdirinya
koperasi pada 1953 terjadi peningkatan hasil perikanan laut sebesar 25 persen
hingga Agustus 1953. Para nelayan berhasil mengumpulkan 2500 kg ikan laut,
bandingkan dengan 2000 kg selama 1951. Jumlah perahu penangkap ikan milik
anggota koperasi sebanyak 141 buah. Seperti halnya pada padi nelayan di Banten
Selatan juga menghadapi sitem ijon dan perlunya modal buat perbaikan
perahu. Penjualan ikan secara langsung bukan melalui pengumpulan juga
menjadi masalah. (Pikiran Rakjat, 26 Agustus 1953).
Pada
Februari 1954 Dewan Perikanan Laut memberikan bantuan kepada koperasi ini
sebesar Rp36.000. Selain di Labuhan sebetulnya ada koperasi nelayan
lainnya di Carita, namun relatif lebih kecil. Pada masa itu koperasi
nelayan berfungsi menyelenggarakan pelelangan ikan hasil tangkapan para
anggotanya. Sebesar 5% dari pendapatan bersih dari pelelangan itu digunakan untuk
keperluan koperasi, seperti gaji pegawai 2,5 persen, sisanya untuk pinjaman,
cadangan dan biaya kalau ada anggotanya mendapatkan kecelakaan. Koperasi
juga bertanggungjawab memberikan bantuan kredit pada anggotanya dan
mengadakan tabungan uang untuk antipasi musim panceklik (Pikiran Rakjat,
9 Februari 1954).
Selain
perikanan laut, Keresidenan Banten 1950-an juga mengembangkan perikanan
darat. Agaknya pada 1953 sektor ini mengalami kemajuan karena kebijakan
memaksimalkan empang, kolam dan rawa-rawa untuk ditanami bibit ikan
membuahkan hasil. Luas areal yang dijadikan perikanan darat mencapai 19.505 Ha atau lebih
luas dari 1952. Produksi ikan pun meningkat pada 1953 menjadi 5136 ton dibandingkan 1952
sebesar 1500 ton (Pikiran Rakjat, 2 Maret 1954).
Cerita Carita hingga Ujung Kulon
Pada 1953
kawasan pantai di Banten Selatan mulai dilirik warga Jakarta sebagai tempat
untuk melepas penat. Laporan yang dimuat dalam Star Weekly edisi
388 6 juni 1953 berjudul “Banten Menarik Pelantjongan”
merupakan salah satu sumber yang saya temukan mendeskripsikan bagaimana kondisi
kawasan itu pada 1953. Pada masa itu perjalanan dari Jakarta memakai
kendaraan memakan waktu empat jam. Pantai yang di dekat Merak itu
dinamakan Florida Bay.
Pertama-tama hawa selama perdjalanan agak panas-beda daripada
perdjalanan ke pegunungan Prianagn jang sedjuk-njaman. Kedua, selewatnja
Tjilegon jakni dalam babak eerdjalanan tercahir ke Merak sepandjang 11
Km, djalanan tidak diasphal dan banjak debuh. Achirnja setibanja di tempat jang
ditudju jang nampak di depan mata melainkan pantai laut jang lebar-pandjang
dengan pohon-pohon njiur dan pepohonan ketjil-ketjil, tempo-tempo terseling
dengan batang-batang pohon jang telah roboh…
Menurut
laporan dalam majalah itu para pelancong suka berteduh di bawah pohon nyiur. Mereka yang
datang mulai dari orang-orang yang berumur hingga anak-anak. Para
pedagang dan makanan juga ramai masa itu. Pada masa itu disebutkan pantai laut
terbuak untuk umum.
Tetapi siapa tahu, kalau-kalau kelak ada seorang jang bersemangat
kommersil mendapatkan pikiran membangunkan suatu tempat pemandian tertutup di
situ…
Dua
kilometer dari Cilegon orang tiba di jalanan bercabang dua. Sebelah kanan
menuju Merak dan yang kiri menuju Anyer lor, sekitar 40 Km dari cilegon.
Jalan ini digambarkan bopeng dan banyak debu. Jauh sebelum tiba di Anyer Lor,
pelancong melihat menara api (mercu suar) setinggi 60 Meter peninggalan zaman
Belanda.
Beberapa
kilometer melewati menara itu pelancong harus melalui jalan yang
berbelit-belit sepanjang pantai dan akhirnya tiba di Desa Karangbolong.
Nama ini diambil dari nama sebuah bukit karang agak besar dan di
tengah-tengahnya sebelah bawah berlubang setengah bundar besar mirip
pintu gerbang. Pada 1950-an tempat itu dikenal karena kerap
dijadikan lokasi syuting film.
Para
pelancong keturunan Tionghoa menyukai klenteng yang berada dekat
Karangbolong. Klenteng ini berdiri sekitar 200 tahun sebelumnya
(dihitung dari 1953). Yang membangun seorang bernama Kho Tjay Koan dari Lamceng
(Hokian). Disebutkan setiap hari Minggu tak habis-habisnya orang dari
Jakarta dan Bogor datang ke Klenteng itu.
Sekalipun
sudah ada berapa laporan perjalanan mengenai potensi pantai Banten Selatan
sebagai daerah tujuan perbaikan jalan dinilai lamban. Laporan wartawan Pikiran
Rakjat pada 26 Agustus 1954 juga menyebutkan bahwa keindahan –terutama
tempat pemandiannya- tidak kalah dengan pantai Clincing, Jakarta (waktu itu
masih layak dipakai buat berenang dan juga banyak pengunjungnya. Namun Jalan
masih banyak yang rusak, terutama Jalan Serang hingga Merak.
Wisatawan
juga datang berombongan. Pada 25 dan 26 Desember 1954 para pegawai kantor
Jawatan Kesehatan Kota Besar Bandung diceritakan bersama keluarganya
berdarmawista ke kawasan Banten. Pada hari pertama rombongan yang berjumlah 60
orang ini menumpang dua otobis bis DAMRI singgah di kawasan Puncak, Kebun
Raya Bogor, hingga Pasar Ikan Jakarta, sebelum terus ke Serang dan menginap di
Keresidenan Banten. Pada hari kedua di Banten rombongan berziarah ke Makam
Sultan Hasanuddin, Mesjid agung Banten, Merak dan akhirnya singgah di Pantai
Florida, Merak (Pikiran Rakjat, 29 Desember 1954).
Saya
menemukan perkembangan pariwisata sesudah 1950-an. Misalnya pada 30-31
Meret 1963 untuk pertama kalinya Pemerintah Jawa Barat mengadakan pesta laut di
Pantai Florida dan Pulau Suralaya4. Event itu diadakan untuk
usaha membangun pariwisata di daearh banten menyusul pembukaan Banten Lama,
Taman Air Tasik dan Pulau Dua yang sudah dilirik para wisatawan karena
keanaragaman burung-burung. Pesta laut ini dimeriahkan oleh pertunjukkan reog
angklung yang didatangkan dari pedalaman Baduy hingga tarian modern Indonesia.
Acara juga
diramaikan oleh Bing Slamet, aktor yang pada masa itu sudah menjadi aktor
kondang dan sajian makanan khas Banten. Acara dibuka oleh Wakil
Gubernur Jawa Barat masa itu Astradinata dan Ketua Dewan Pariwisata
Pusat, Sri Sultan Hamangkubuwono IX. Pada sama itu wisatawan asing ayng
hendak berkunjung ke Pulau Suralaya dipungut biaya Rp1500 per orang dan
wisatawan lokal dipungut Rp500. Untuk pengunjung rombongan dipungut biaya
Rp50/orang dan anak sekolah dalam rombongan dipungut sebesar Rp15/orang (Pikiran
Rakjat, 23 Maret 1963 dan Pikiran Rakjat 1 April 1963).
Pada
pertengahan 1970-an Pantai Carita sudah tumbuh menjadi tempat wisata dengan
fasilitas bungalow dan pesanggrahan milik swasta. Menurut buku yang diterbitkan
Dinas Pariwisata Jawa Barat berjudul Guide to West Java,
1976 tempat peristirahatan ini disewakan kepada orang-orang asing.
Terdapat juga sebuah tempat peristirahatan milik jawatan kehutanan.
Beberapa hotel yang direkomendasikan dalam buku itu antara lain Serang Hotel
milik Adji Subardji, Pulorida Village Hotel dan Merak Beach Hotel milik
atau dikelola oleh Mahfud Purnawarman6. Seorang bernama Anwar
Padmajaya mempunyai Villa Karangbolong di tepi Jalan Labuan dan sebuah Cottage
di Batu Kuwung.
Hotel besar
yang pertama bertaraf internasional dibangun di tepi pantai ahsil
penelusuran saya adalah Ramaya Beach Hotel pada Oktober 1971 dan sudah bisa
dihuni pada April 1972. Bagian pertama hotel yang selesai dibangun
terdiri dari 20 kamar berbentuk mini cottage yang terletak sekitar 30 meter
dari patai. Bangunan-bangunan cottage ini berada di antara pohon-pohon
kelapa hingga terkesan asri dan malam hari membuat pemandangan menjadi
menakjubkan.
Hotel ini
adalah bagian dari dua hotel sebelumnya, yaitu Samudera Beach hotel di
Pelabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat dan Bali Beach hotel. Ramayana Beach
Hotel dibangun dengan biaya Rp80juta. Dibangun dengan kesulitan
besar, yaitu mendapatkan air tawar yang didatangkan dari daratan sejauh
20 meter dari lokasi hotel ke daratan melalui pipa-pipa. Sasaran para tamunya
adalah turis asing, para ekspatriat, staf kedutaan besar asing dengan
tarif US$10/malam (Sinar Harapan, 13 April 1972).
Referensi
lain tentang pariwisata di Banten masa silam ditulis Nenny
Wirakusumah, Banten dengan Obyek wisata serta Peninggalannya yang
Bernilai Budaya, diterbitkan Tarate di Bandung pada tahun yang sama
merekomendasikan empat tujuan wisata di kawasan itu. Pertama kampung Banten (Kota
Tua Banten) sekitar 10 Km dari utara Kota Kecil Serang (masa itu disebut
Kota kecil). Di kampung
telah menunggu peninggalan-peninggalan masa lalu yang penuh keajaiban.
Kedua adalah Pantai Florida di mana pada 1976, Dalam buku itu Ramaya Beach
Hotel disebut Ramayana City Ramayana City. Ketiga, Mercusuar di
Desa Anyer dan Karangbolong. Kawasan Karangbolong disebutkan sudah mempunyai
sekitar 20 bungalow. Keempat adalah Batukuwung 30 Km dari kota Serang
tempat pemandian air hangat.
Secara
keseluruhan pengembangan pariwisata di Banten Selatan baru terasa 1980-an
dengan dibangunnya hotel besar di kawasan Carita. Praktis terjadi pergeseran
minat wisatawan dari Merak ke kawasan Banten Selatan. Dibukanya jalan tol
membaut kawasan ini lebih cepat berkembang. Kalau saya jaringan jalan
lebih ke selatan menghubungkan ke kawasan Bayah, saya kira Banten Selatan mampu
menyaingi Bali.
Pada
September 1954 Panitia Perlindungan alam diketuai Sumantri dari Jawatan
Kehutanan dan Panitia Pemburuan diketuai Suleman Natawidjaja melakukan
peninjauan di sekitar semenanjung Ujung Kulon. Daerah seluas 30 ribu
hektar itu sejak masa kolonial sudah dijadikan reservasi alam liar yang
dikelilingin panorama indah. Kunjungan kedua panitia itu untuk
menyelidiki Pulau Peucang, Pulau Handeleum dan Pulau Panaitan, sehubungan
dengan sebuah rencana menjadi pulau-pulau ini sebagai tujuan para wisatawan (Pikiran
Rakjat, 7 September 1954).
Ketiga pulau
ini saat itu didiami binatang liar yang dilindungi dan tidak boleh dijadikan
hewan buruan. Hingga 1954 Binatang-binatang yang ada di pulau-pulau itu,
sekitar 35 ekor badak, 300 ekor banteng, 100 ekor rusa dan macan loreng yang
tidak diketahui jumlahnya. Tim peneliti mendapatkan fakta
binatang-binatang kekurangan makan, karena rumput yang makin berkurang. Pada waktu
itu juga panitia sudah mengetahui bahwa cula badak banyak dicari.
Pada zaman
merdeka, baru berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor : 48/Um/1958 Tanggal 17
April 1958 Kawasan Ujung Kulon berubah status kembali menjadi Kawasan Suaka
Alam dengan memasukkan kawasan perairan laut selebar 500 meter dari batas air
laut surut terendah.
Pada 1990-an
badak mulai sulit dilacak beredaaannya bahkan mendapatkan jejak badan saja
sudah merupakan hal yang menkajubkan. Wartawan Majalah Matra8
bernama Widjajanto dalam sebuah tulisan menungkapkan hal itu. Wartawan
itu ikut dalam salah satu regu Sensus Badak 1997 hanya
menemukan jejak banteng di jalur Cigenter-Cibandawoh Barat. Jejak badak
disebutkan mirip setengah lingkaran dengan diameter 20 cm. Tulisan itu
juga menyebutkan rusaknya fasilitas tempat memantau yang bisa digunakan para wisatawan.
Irvan Sjafari
Catatan Kaki (Sumber-sumber pendukung lainnya)
1 Michael C.
William “Banten:Utang Padi Dibayar Padi, Utang Darah Dibayar Darah” dalam buku
Audrey Kahin Pergolakan pada Daerah Awal Kemerdekaan, Jakarta: Graffiti
Pers, 1990
2.
Cerita mengenai tempat itu kerap dari mulut ke mulut. Misalnya asal
usul Tanjung Lesung menurut sumber yang saya temui waktu berkunjung ke
sana pada 2005 menyebutkan cerita mengenai Raden Gondang Lesung. Cerita
lain dimuat dalam http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/232-Legenda-Tanjung-Lesung dan tulisan
Suharyanto dalam http://folktalesnusantara.blogspot.com/2008/12/hikayat-tanjung-lesung.html tentang
seorang bangsawan dari kawasan selatan bernama Raden Budog yang bermimpi
melihat seorang gadis yang membuatnya mengembara ke utara hingga tiba di sebuah
kampong tempat para gadisnya menumbukan alu ke dalam lesung atau ngadondang.
Singkat cerita pemimpin para gadis itu bernama Sri Poh Aci adalah orang
yang dicarinya. Gayung bersambut, mereka saling jatuh cinta dan menikah.
Cerita ini berakhir tragis karena Raden Budog melanggar pantangan bermain
lesung pada Hari Jumat dan menjelma menjadi lutung dan Sri Poh Aci dipercaya
menjelma menjadi Dewi Sri. Sejak itu kampungnya menjadi Kampung Tanjung
Lesung.
Contoh lain
mengenai asal-usul Kampung Cibeo, Cikeusik dan Cikatawarna dipercaya
didirikan Pangeran Pucuk Umun, dari Kerajaan Pajajaran yang menolak tunduk pada
kerajaan Islam. Dia disebutkan menjelma menjadi Burung beo dan kembali
menjadi manusia setelah melihat Hutan Gunung Kendeng dengan air sungai
keperakan. Cibeo dari beo, Cikeusik dari pasir, dan Cikatawarna berwarna. Ceita
tentang Pangeran Pucuk Umun ini dimuat oleh Nenny Wirakusumah dalam Banten
dengan Obyek Wisata Serta Peninggalannya yang bernilai Budaya, Bandung,
Terate, 1976.
3. Multatuli,
Max Havelaar yang saya jadikan referensi terjemahan HB Jassin, terbitan
Jembatan, 1985.
4. Republik Indonesia: Propinsi Jawa Barat, cetakan 1953 saya mengutip dari
hal. 378 dan 393 memberikan data tentang keadaan sosial ekonomi di Banten.
5. Nama Florida
kemudian berubah menjadi Pantai Pulorida. Saya cukup kesulitan melacak
apa yang dimaksud dengan Pulau Suralaya dalam berita di Pikiran Rakjat
itu, kemungkinan adalah Pulau Sangiang. Sebab pulau itu yang berseberangan
dengan Pantai Merak.
6. Situs http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=468
menyebutkan penelitian geologis telah dilakukan sejak 1924 hingga 1930 oleh Ir.
W.F. Oppenoorth yang dilanjutkan dengan pekerjaan eksplorasi dan pemetaan
hingga 1936. Pada tahun inilah perusahaan Belanda N.V. Mijnbauw Maatschapij
Zuid Bantam (MMZB) mulai membangun tambang emas hingga 1939 ketika terpaksa
terhenti sampai 1942 akibat terjadinya Perang Dunia II.
7. Menurut http://www.beritacilegon.com/index.php/pariwisata/hotel/728-merak-beach-hotel-tawarkan-keindahan-pantai,-diklaim
sudah ada sejak 1972.
8. Widjajanto,
“Ujung Kulon: Jatuh cinta di pantai Nyiur” dalam Matra disi September
1997. Sementara Situs Ujung Kulon http://www.ujungkulon.org/tentang-tnuk/sejarah-status-kawasan menyebutkan
bahwa Kawasan Ujung
Kulon pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli Botani Jerman, F. Junghun
pada 1846, ketika sedang mengumpulkan tumbuhan tropis. Pada masa itu
kekayaan flora dan fauna Ujung Kulon sudah mulai dikenal oleh para peneliti.
Perjalanan ke Ujung Kulon ini sempat masuk di dalam jurnal ilimiah beberapa
tahun kemudian. Namun memang tidak banyak catatan mengenai Ujung
Kulon sampai meletusnya gunung krakatau pada tahun 1883. Letusan Krakatau
memporak-porandakan tidak hanya pemukiman penduduk di Ujung Kulon, tetapi
satwaliar dan vegetasi yang ada. Meskipun letusan Krakatau telah menyapu bersih
kawasan Ujung Kulon, akan tetapi beberapa tahun kemudian diketahui bahwa
ekosistem-vegetasi dan satwaliar di Ujung Kulon tumbuh baik dengan cepat.
0 Response to "Sejarah Banten"
Post a Comment